Langsung ke konten utama

Problematika hermeneutik


Problematikan Hermaneutik

Bab I: Pendahuluan
            Alkitab tidak langsung dimulai sebagai sebuah kitab besar, lengkap dengan semua kitab yang sekarang ada dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.  Alkitab bertumbuh sebagai bagian dari proses seleksi yang disebut kanonisasi.  Kata Yunani kanon berarti “tongkat pengukur” yang biasa dipakai tukang bangunan.  Mula-mula para pemimpin gereja perdana memakai kata kanon dalam arti standar atau ukuran.  Para pemimpin gereja perdana menjalankan sebuah proses guna memutuskan kitab mana saja yang termasuk kitab suci dan berwibawa mengikat umat Allah.  Kitab suci yang berwibawa mengikat umat Allah ini perlu disampaikan dan dipahami secara tepat oleh manusia.  Pemahaman secara tepat oleh manusia membutuhkan penafsiran. 
            Penafsiran berasal dari kata Yunani  ermeneuw yang berarti menginterpretasi, menjelaskan atau menerjemahkan.  Kata Yunani ini berhubungan dengan dewa Hermes, dewa dalam mitos orang Yunani, yang bertugas menyampaikan berita dari para dewa kepada manusia.  Dewa ini juga adalah dewa ilmiah, penemuan dan kefasihan bicara, seni tulis dan kesenian.  Hermeneutik adalah salah satu bagian dari teologi yang mempelajari teori-teori, prinsip-prinsip dan metode-metode penafsiran Alkitab.[1]  Tim Lahaye mengatakan, “Hermeneutik adalah suatu cara mempelajari Alkitab secara teliti yang memastikan bahwa pesan Allah yang harus disampaikan itu dapat dipahami secara tepat oleh manusia.”[2]
            Upaya menyampaikan pesan Allah sehingga dipahami secara tepat oleh manusia membutuhkan interpretasi, penjelasan atau penerjemahan yang memadai.  Interpretasi, penjelasan atau penerjemahan yang memadai harus menggunakan mata, telinga dan pemikiran manusia.  Tim Lahaye mengatakan,
Persoalannya menjadi rumit kerena manusia berbicara dengan bahasa yang berbeda, sebab itu Allah harus menyatakan konsep-konsep-Nya yang tidak terbatas dalam satu bahasa yang pokok, sehingga dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa lain yang dipakai oleh manusia. Sekali lagi proses komunikasi itu manjadi sulit karena kata-kata, ungkapan-ungkapan dan kebiasaan-kebiasaannya telah berubah selama lebih dari 3500 tahun sejak Allah pertama kali menyatakan pikiran dan kehendak-Nya kepada manusia secara tertulis.[3] 
Jadi dalam penafsiran Alkitab ada berbagai probematika atau permasalahan-permasalahan yang perlu menjadi pokok perhatian sang penafsir.  Dengan memahami berbagai problematika hermeneutik, para penafsir mampu menguraikan Firman Kebenaran dengan tepat.

Bab II: Problema Hermeneutika
Problema Hermeneutika adalah pemasalah-permasalahan yang sering terjadi dalam ilmu menafsir Alkitab.  Ada beberapa problematika Hermeneutika:
Tidak percaya kepada Alkitab.
            Banyak penafsir liberal yang menafsir dengan sikap yang salah dan motivasi yang tidak benar.  Pada hekekatnya mereka tidak percaya bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang sudah diwahyukan melalui Roh Kudus dan diberikan kepada para penulis Alkitab.  Motivasi  mereka menjelaskan Alkitab, bukan bermaksud agar manusia dapat mengenal Allah dan mengetahui keadaan diri mereka.  Mereka banyak menggunakan waktu untuk menyelidiki Alkitab tetapi hasil penafsiran mereka jauh berbeda dengan hasil penafsiran ortodoks.
            Beberapa ciri khas dari penafsiran jenis ini.  Salah satunya adalah mengorbankan Alkitab untuk menyesuaikannya dengan penemuan ilmiah atau pemikiran rasionil.  Sudah tentu seorang penafsir Alkitab harus memperhatikan penemuan ilmiah untuk membantu dia dalam menafsir Alkitab.  Seorang penafsir juga diharapkan adalah seorang yang berpikiran sehat dan tenang, sehingga Firman Allah dapat dijelaskan dengan baik.  Namun demikian otoritas Alkitab harus dijunjung tinggi.  Dalam kasus Alkitab berkontradiksi atau seolah-olah berkontradiksi dengan ilmu pengetahuan dan pikiran rasionil, seorang penafsir Alkitab harus berdiri di pihak Alkitab.  Perlu disadari oleb penafsir dari segala zaman bahwa Alkitab adalah sebuah kitab yang diwahyukan oleh Tuhan, yang memang pada kasus-kasus di luar jangkauan pikiran manusia untuk menjelaskannya.  Sebagai contoh mujizat-mujizat yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, kadang tidak dimengerti oleh manusia sebab hal tersebut di luar hukum alam.  Jadi adalah bijaksana bagi seorang penafsir memegang teguh apa yang dikatakan oleh Alkitab daripada mengikuti kesimpulan manusia yang seringkali berubah.
            Penafsiran jenis ini condong menjelaskan pengalaman tokoh Alkitab dengan pandangan manusia modern, menurunkan wibawa Alkitab menjadi sederjat dengan agama-agama pada masa-masa Alkitab ditulis, membaca ceritera-ceritera dalam Alkitab sekedar sebagai mitos-mitos yang bersifat mendidik atau hanya menitikberatkan ajaran etika dari Alkitab.  Menafsir Alkitab dengan sikap demikian jelas tidak memperoleh makna yang sesungguhnya dari Firman Allah.  Mereka melalaikan aspek yang paling penting dari Alkitab sebagai sebuah kitab supernatural.[4]
            Bagi seorang penafsir, seharusnya percaya kepada Alkitab, sebab Alkitab bukan hanya diilhami dan berwibawa tetapi juga tidak mungkin bersalah.  Yang dimaksudkan ialah naskah asli Alkitab sama sekali tidak ada salahnya.  Alkitab samasekali sama sekali tidak mungkin salah dalam segala hal yang tercantum di dalamnya, apakah itu sejarah, ilmu pengetahuan, masalah kesusilaan, dan dan masalah doctrinal.  Sifat tidak mungkin bersalah ini berlaku untuk seluruh Alkitab dan bukan hanya untuk beberapa ajaran tertentu.[5]  Norman Geisler & Ron Brooks mengatakan, Alkitab modern kita sedemikian dekat dengan naskah aslinya sehingga kita bisa memiliki keyakinan bahwa apa yang diajarkan adalah kebenaran.”[6]

Melalaikan Bahasa Asli.
Pada dasarnya bahasa selalu berkembang.  Oleh karena itu tidaklah tepat jika penafsir masa kini menjelaskan bahasa Alkitab dalam bahasa modernnya.  Apalagi bahasa yang dipakai oleh penulis alkitab bukanlah bahasa yang dipakai pada masa kini.  Jika melalaikan prinsip ini, maka bukan saja tidak sanggup menjelaskan arti Alkitab tetapi ada kemungkinan terjadi penambahan pengertian yang baru kedalamnya.  Sudah tentu penerjemahan Alkitab sangat membantu pembaca modern mengerti isi Alkitab.  Namun demikian, perlu diingatkan bahwa sebetulnya terjemahan itu sendiri sudah merupakan penafsiran.  Karena penerjemah telah memilih salah satu pengertian, dari beberapa pengertian, yang dianggapnya paling cocok.  Jadi bahasa itu hidup bahkan unuk adanya,  betapapun penerjemah itu bekerja dengan berhati-hati dan teliti, sebenarnya hampir tidak mungkin menerjemahkan satu bahasa dengan seratus persen sempurna ke dalam bahasa lain.  Sebab setiap bangsa, yang hidup pada zaman dan tempat tertentu mempunyai budaya tertentu yang biasanya diungkapkan dengan cara tertentu.[7]
Penafsiran yang tepat dari kebenaran yang Alkitabiah tidak terlepas dari pengertian kata-kata atau istilah yang dipakai untuk mengungkapkan kebenaran tersebut.  Rick Warren mengatakan, “Penafsir perlu memperhatikan dua hal dalam studi kata-kata.  Pertama studi kata-kata harus berdasarkan pada kata-kata  asli dalam bahasa aslinya dan bukan dalam bahasa Inggris.  Kedua harus mengaitkannya dengan konteksnya yang bisa mencerminkan arti yang sesungguhnya dari kata-kata itu.”[8]

Memberi Terlalu Banyak Pengertian/perhatian Kepada Suku Kata
Seringkali sebagian penafsir terlalu bersemagat  menggali pengertian suatu istilah.  Biasanya mereka dengan cepat membuka kamus teologi kemudian mencari segala pengertian yang berhubungan dengan istilah tersebut dan menerjemahkan semua pengertian itu atas istilah tersebut.  Sudah tentu ini tidak tepat.  Pengertian suatu istilah harus dipertimbangkan dari kasus ke kasus.  Karena bukan saja suatu bahasa itu terus berkembang sehingga mungkin sekali suatu kata sama sekali meninggalkan pengertian semula, tetapi dalam konteks yang berbeda, suatu kata dapat mempunyai arti yang berbeda. 
Penafsir Alkitab seringkali menitikberatkan pada suatu kata yang sebenarnya bukan kata kunci dari ayat, pasal, kitab tersebut.  Penilaian akan kepentingan dari suatu kata memang sulit dan sering bersifat subjektif.  Namun demikian penafsir Alkitab harus berusaha menangkap inti dari ayat, pasal, dan kitab dan memupuk kesensitifannya terhadap jalan pikiran penulis Alkitab.  Tanpa sadar akan kata penting dari ayat, pasal, kitab yang berhubungan, penafsir Alkitab sangat mungkin telah salah menafsir bagian yang ingin dijelaskan.  Karena itu ia telah memberi perhatian yang berkelebihan kepada kata yang tidak penting.[9]
Analisa arti kata memang sangat penting dalam penafsiran tetapi jika tidak berhati-hati maka akan menimbulkan masalah dalam penafsiran.  Itulah sebabnya Hasan Sutanto mengatakan bahwa ada kalanya satu kata memiliki satu arti utama sedangkan yang lain sebagai arti kedua.  Jadi arahkanlah perhatian pada arti utama.  Pililah salah satu dari arti yang tertera.  Ada kalanya penafsir Alkitab mengalami kesulitan untuk menentukan arti mana yang harus dipilih.  Dalam kasus demuikian, perlu penyelidikan yang lebih lanjut.  Panafsir Alkitab harus bersikap kritis, jangan menerima saja segala yang tertulis di dalam lexicon, kamus Alkitab/teologi.  Dalam pemakaian lexicon, perhatian bahwa perubahan tata bahasa, perbedaan kata penghubung dan lain-lain dapat menyebabkan perbedaan arti.  Perhatikan komentar dari penulis lexicon tentang arti kata tersebut.  Setelah penafsir mengenal arti suatu kata, maka langkah selanjutnya adalah  memperhatikan konteks dari kata tersebut dengan baik.[10]

Melalaikan Konteks dari Bagian yang Ditafsirkan.
            Memperhatikan konteks dari bagian yang ingin ditafsirkan adalah prinsip yang sangat penting namun sering diabaikan.  Mengabaikan konteks dari bagian yang ingin ditafsirkan berarti penafsir Alkitab telah memotong-motongkan kitab yang utuh dan unik dengan kehendak dirinya.  Selain itu itu berarti telah membuat peluang bagi dirinya untuk memasukkan pengertian pribadinya.  Bukan saja demikian, sebenarnya banyak bagian Alkitab tidak dapat dijelaskan tanpa memperhatikan konteksnya. 
            Ada kalanya konteks juga membantu penafsir menentukan arti dari suatu kata yang mencakup banyak pengertian.  Minsalnya kata Yunani ginoskw mempunyai banyak pengertian: mengetahui, mempelajari, memastikan, mengerti, merasa, menyadari, mengakui, menunjukkan, perhubungan seks.  Jadi adalah tepat menerjemahkan Mat. 1:25 “…. Tidak bersetubuh dengan karena  ini sesuai dengan tuntutan konteks.  Walaupun konteks adalah sedemikian penting, perlu disanyangkan bahwa banyak pengkhotbah telah melalaikannya.  Kelalaian demikian mungkin kerena unsur ketidaktahuan, tergesa-gesa, tetapi juga mungkin kerena kesengajaan.[11]
            Penafsiran Alkitab yang menyimpang dari konteksnya memang merupakan problematika hermeneutik.  Tim Lahaye mengatakan bahwa menggunakan ayat-ayat Alkitab untuk membuktikan suatu ajaran atau prinsip itu baik, tetapi jangan mengambil suatu ayat menyimpang dari konteksnya atau hubungan kalimatnya,  kalau tidak, ayat tersebut bukannya menjadi suatu bukti tetapi menjadi suatu dalih.[12]
            Untuk menghindari penyimpangan hermeneutik yang melalaikan konteks Hasan Sutanto memberikan beberapa prinsip yakni: 1) Ayat-ayat yang hendak ditafsir seharusnya adalah suatu kesatuan yang utuh.  2) Jangan membuat-buat suatu hubungan konteks yang sebenarnya tidak ada.  3) Dalam penyelidikan hubungan konteks, seorang penafsir dituntut memiliki sikap yang hati-hati, perasaan yang sensitive dan penyelidikan yang teliti.  4) Pembacaan yang berulang-ulang dengan disertai observasi yang teliti adalah metode yang ampuh.  5) Selalu bertanya tentang hubungan apa antara teks, yang ingin ditafsir, dengan konteksnya.  6) Menaruh perhatian kepada topik utama atau kata penting.  7) Jumlah ayat yang hendak ditafsir makin sedikit, kemungkinan melalaikan konteksnya makin besar.  8) Biarlah konteks, yakni Alkitab sendiri, menafsirkan teks yang hendak ditafsir.  9) Bandingkan beberapa terjemahan dan mengikuti beberapa penekanan yang berbeda dari terjemahan yang berbeda.[13]
Kurang Memperhatikan Latar Belakang
Setiap kitab adalah buku yang sangat unik yang memiliki latar belakang tersendiri.  Bagi penafsir modern, mengenal latar belakang suatu kitab memang bukan suatu hal yang mudah dilakukan.  Misalnya kekurangan data mengenai budaya jaman Abraham atau sukar membedakan kebiasaan orang Korintus dengan orang Roma.  Jangan lupa suatu adat yang sama member makna yang berbeda kepada pembaca Alkitab yang pertama dan pembaca masa kini.  Berhubungan dengan ini penafsir yang jujur terhadap Alkitab tidak boleh mengabaikan latar belakang kitab secara umum atau suatu peristiwa secara khusus.  Boleh dikatakan bahwa melalaikan latar belakang suatu kitab sering disebabkan oleh  subjektifitas seorang penafsir, sedangkan subjektifitas ini timbul karena diri penafsir menafsir Alkitab hanya berdasarkan konsep dan budayanya.  Maka tidak mengherankan kalau hasil setiap penafsir sangat berbeda.  Ric Warren mengatakan, “Penyataan Tuhan telah diberikan di dalam sejarah dan orang-orang yang dipilih Tuhan telah melakukan peranannya masing-masing dengan latar belakang zamannya.  Kita akan mengerti lebih baik kalau kita melihat Firman Allah dalam kontes kaitannya pada zamannya masing-masing.”[14]
      Melalaikan latar belakang suatu kitab adalah suatu kelalaian yang sering terjadi dalam penafsiran Alkitab.  Untuk menghindari kelemahan ini, seorang penafsir sebaiknya menekunkan diri dalam penyelidikan latar belakang Alkitab, waspada kepada kemungkinan membaca Alkitab dengan pra pengertiannya, dan bersedia sensitive terhadap budaya, kebiasaan, ungkapan dalam Alkitab yang berlainan dengan jaman modern.[15]
      Untuk menghindari terjadinya permasalahan karena kurang memperhatikan latar belakang, maka Hasan Sutanto mengingatkan beberapa hal: 1) Unsur geografis, penafsir harus memperhatikan data tentang dimana terjadinya suatu peristiwa, pemberian ajaran, atau tempat para pembaca surat tinggal.  2) Unsur waktu, Seorang penafsir harus mencoba mengerti cara menghitung waktu, tahu tentang kalender dari zaman Alkitab dan sensitif akan unsure waktu.  3) Unsur agama, seorang penafsir dihimbau memperhatikan praktek, ajaran para nabi dan sekte Yudaisme yang berbeda-beda, praktek penyembahan kepada dewa-dewi, dan agama-agama lain.  4) Unsur Politik dan Ekonomi, para penafsir dituntut memperhatikan tentang unsur politik dan ekonomi sebab mempunyai pengaruh bagi kehidupan manusia.  5) Unsur Kebudayaan dan kebiasaan, para penafsir dituntut memperhatikan unsure kebudayaan dan kebiasaan sebab seringkali sangat beberbeda kebudayaan atau kebiasaan tokoh-tokoh yang ingin ditafsir dengan kebudayaan atau kebiasaan penafsir.[16]
Menitikberatkan Bagian-bagian Tertentu dari Alkitab.
            Seringkali seorang penafsir ingin mencari dukungan dari setiap kitab untuk suatu doktrin tertentu, dan ini adalah sikap yang kurang bijaksana.  Sama kurang bijaksananya  jika seorang penafsir menjelaskan sebagian dari Alkitab tanpa memperhatikan ayat-ayat atau kitab-kitab lain.  Cara penafsiran yang demikian akan mudah menghasilkan kesimpulan yang berat sebelah bahkan ekstrim. 
            Demi menghasilkan suatu penafsiran yang lebih dekat dengan pengajaran Alkitab, seorang penafsir harus bersedia mempelajari juga ayat-ayat atau kitab-kitab yang lain.  Tanpa penyelidikan yang demikian, ayat yang lebih pendek mungkin menghasilkan penafsiran yang lebih menyesatkan.[17]
Kurang Memperhatikan Bentuk dari Bagian yang Ingin Ditafsir
            Alkitab terdiri dari pelbagai bentuk penulisan.  Di dalamnya bukan saja terdapat sejarah, nubuat, syair, khotbqah, riwayat, perumpamaan, tetapi juga terdapat nyanyian, kredo, pepatah, surat, tulisan apokaliptik dan lain-lain.  Sudah tentu cara penafsiran atas perumpamaan tidak dapat diterapkan pada syair.  Kedua bentuk tulisan ini memiliki cirri khas dan gaya bahasanya tersendiri yang tidak boleh diabaikan.  Untuk sekian lama, banyak penafsir telah melalaikan unsur ini, sehingga dalam penafsiran mereka sering terjadi kekeliruan-kekeliruan yang sebenarnya boleh dihindarkan.[18]
            A.A. Sitompul & Ulrich Beyer mengatakan bahwa meneliti suatu bentuk nats tidak dapat dipisahkan dengan mempertimbangkan isi, unsur-unsur serta bahan-bahan pokok/kadar dari nats yang bersangkutan.  Analisis bentuk selalu mempertimbangkan ucapan lisan dan tulisan, bagaimana unsur-unsur bentuk bahasa yang khusus dan jenis sastra yang tertentu dapat dipakai dan berfungsi di sekitar nats.[19]
            Untuk mengghindari problem hermeneutuk di sekitar kritik bentuk, John H. Hoyes dan Car R. Holladay mengatakan,
Penafsir yang menaruh perhatian pada pendekatan kritik bentuk harus mengetahui beberapa langkah khusus yang diperlukan dalam penafsiran.  Dalam usahanya untuk memahami isi sebuah teks alkitabiah, atau untuk memahami apa yang dikatakan  di situ, penafsir harus benar-benar menaruh perhatian penuh pada jenis dan struktur sastranya atau pada cara penyusunan dan penyampaian isinya.  Ketika hal itu sudah ia kerjakan, maka selanjutnya ia harus berusaha untuk menentukan kedudukan dalam kehidupan dari teks atau situasi ketika teks itu dulu muncul dan berkembang.  Jika itu semua sudah dapat ia tentukan, maka selanjutnya ia masih harus berusaha untuk mengetahui dengan pasti bagaimana teks itu dulu berfungsi dalam situasi kehidupannya.  Semuanya ini akhirnya akan menolong untuk membaca dan memahami isi teks.[20]
            Jadi penafsir yang seantiasa memperhatikan bentuk-bentuk dan isi yang khas dari pelbagai tulisan-tulisan, akan menghindari berbagai problem atau salah tafsir dalam menjelaskan Alkitab.
Memakai Alkitab untuk Mencapai Tujuannya
            Memakai Alkitab untuk mencapai tujuannya seringkali terjadi dalam penafsiran.  Ini merupakan kesalahan yang seringkali terjadi dalam penafsiran.  Seorang penafsir Injili mungkin mencari ayat-ayat Alkitab untuk mendukung doktrinnya atau membuktikan sesuatu yang ia anggap benar.  Seorang penceramah mungkin mengutif satu, dua ayat, sehingga pendapatnya kelihatan lebih beralkitabiah, padahal ia belum pernah bermaksud menafsir Alkitab.  Seorang yang tidak sudi dibaptis mungkin mengambil penjahat yang disalib bersama dengan Tuhan sebagai alas an untuk tidak dibaptis.  Sebab penjahat percaya dan tidak dibaptis tetapi juga diselamatkan.   Seorang teolog liberal mungkin mengutif sabda Tuhan Yesus untuk membuktikan betapa tepat teorinya.  Jelas cara penafsiran demikian tidak benar dan juga tidak menggali keluar maksud sesungguhnya dari penulis Alkitab.  Hindarilah cara penafsiran yang demikian.  Sebab manusia tidak berhak menentukan Firman Allah, tetapi Allahlah yang berwewenang menyampaikan Firmannya kepada manusia.[21]
             Berdasarkan kebutuhan  zaman dan latar belakang yang berbeda, terutama penafsiran yang berlainan, gereja telah menghasilkan teologi yang berbeda.  Dengan demikian orang yang di luar dan di dalan gereja, menghadapi suatu kesulitan besar yang  mana telogi yang betul, lebih tepat, teologi mana yang berdasarkan Firman Allah.  Tidak mengherankan jika ada pemimpin gereja berpendapat bahwa perselisihan dan perdebatan teologi adalah perselisihan dan perdebatan penafsiran Alkitab.  Jadi orang Kristen yang baik harus dengan aktif dan teliti menafsirkan Alkitab.  Penafsiran yang tepat terdapat Alkitab yang menjadi dasar untuk membangun teologi, bukan sebaliknya.  Tugas ini akan terlihat makin penting pada saat oknum-oknum tertentu mencoba memutar balikkan Firman Allah dengan sengaja atau tidak sengaja.[22]
Penafsiran Alkitab yang Kaku
            Alkitab seringkali ditafsir dengan pengertian harafiah.  Tetapi penafsiran yang harafiah tidak sama dengan penfasiran yang kaku.  Penafsiran yang kaku adalah penafsiran yang melanggar prinsip-prinsip penafsiran karena kurang memperhatikan seluruh ajaran Alkitab mengenai kebenaran itu, kurang memperhatikan konteks, kurang memperhatikan bentuk tulisan, misalnya syair atau bahasa kiasan. 
            Penafsiran yang kaku biasanya dibuat oleh mereka yang setia kepada Alkitab, namun perlu disayangkan, kesetiaan demikian tidak dikontrol dengan prinsip penafsiran yang tepat, sehingga sering terjadi kesalahan di antara mereka dalam menafsir Firman Tuhan.  Suatu contoh sederhana dapat diambil dari Mrk. 9:43, “Dan jika tanganmu menyesatkan engkau, pergilah, penggallah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung daripada dengan utuh kedua tanganmu dibuang ke dalam nereka, ke dalam api yang tak terpadamkan.”  Bagi orang yang menafsir dengan kaku maka ini mungkin berarti sungguh-sungguh memenggal tangannya.  Tetapi dari konteksnya, seorang penafsir seharusnya sadar bahwa ayat ini adalah penegasan dari Tuhan tentang resiko dari dosa, tekad orang Kristen melawan dosa dan kesaksian hidup yang baik.  Di lain pihak jika dibandingkan dengan ayat-ayat lain, sebenarnya akar dari perbuatan dosa adalah pikiran, apakah ini berarti kepala juga dipenggal? Apakah dengan memenaggal tangan, manusia akan berhenti berbuat dosa?  Jelas jawabannya adalah tidak.  Jadi untuk ayat ini menafsir dengan kaku adalah kurang tepat.[23]
Fantasi/ Imaginasi yang Tak Terkontrol
            Dalam menafsir diperlukan tentang daya fantasia atau imaginasi.  Namun perlu disadari bahwa fantasi atau imaginasi dalam penafsiran adalah yang terkontrol.  Hal ini penting sebab penafsir Alkitab akan menggali bahan-bahan yang lebih banyak atau membuat bahan-bahan itu lebih hidup.  Namun dekian fantasia atau imaginasi yang tak terkontrol adalah suatu bahaya yang besar.
            Fantasi atau  imaginasi yang tak terkontrol sering terjadi dalam penafsiran alegori.  Untuk mencari arti rohani, daun pohon ara, di mana Sakheus menyembunyikan diri, dapat melambangkan kesombongan (Luk. 19:1-10).  Walaupun pendapat ini mungkin tidak salah dipandang dari segi dogma, tetapi jelas ini bukan maksud yang ingin disampaikan oleh penulis Alkitab. 
            Fantasi atau imaginasi yang tak terkontrol juga terlihat dalam penafsiran yang menambah-nambahkan bahan yang terdapat dalam Alkitab.  Pernah diperdebatkan apakah tangan Tuhan Yesus halus atau kasar berdasarkan Yoh. 8:57 dan Kidung Agung 2:1. Atau perdebatan tentang dari mana datangnya setan atau dosa pertama.  Semua perdebatan ini disebabkan oleh karena penafsir-penafsir Alkitab tidak rela mengontrol rasa ingin tahu dan imaginasi mereka tidak bersedia takluk kepada Alkitab yang memang tidak banyak membarti informasi dalam hal ini.[24]
Melalaikan Aplikasi
Melalaikan aplikasi adalah suatu masalah dalam Hermeneutik.  Sebenarnya tujuan akhir hermeneutik adalah aplikasi atau penerapan dalam kehidupan orang percaya.  Hal ini penting sebab Allah menghendaki kehidupan yang berubah melalui Firman Tuhan.  
Alkitab diberikan kepada orang percaya, untuk memperlihatkan bagaimana berhubungan dengan Tuhan dan bagaimana hidup dalam dunia menurut cara Tuhan.  Hal ini deberikan kepada orang percaya agar boleh berubah dalam hidupnya yang menyerupai Kristus.  Rasul Paulus menyatakan bahwa “Segala Tulisan yang dilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2Tim. 3:16).  Rick Warren Mengatakan, “ Alkitab adalah buku yang praktis.  Alkitab ditulis untuk dipraktekkan dalam kehidupan kita.  Penafsiran tanpa aplikasi adalah abortus.”[25]
Aplikasi sangat perlu dalam kehidupan orang percaya.  Oleh kerena itu Rick Warren menyampaikan  prinsip bahwa  anda tidak bisa mengetahui Firman Allah kecuali anda mengaplikasikannya di dalam kehidupan anda.  Jika anda mempelajari Firman Allah tanpa mengaplikasikannya dalam kehidupan anda, maka anda tidak lebih baik dari orang Farisi dan Saduki pada zaman Tuhan Yesus.  Selain itu ia mengatakan bahwa mempelajari Firman Tuhan bisa berbahaya jika tidak mengaplikasikannya.  Mempelajari Alkitab tanpa aplikasi berbahaya karena pengetahuan membuat seseorang bisa menjadi sombong.  Alkitab mengatakan bahwa iblis mengetahui Firman Allah secara intelek (Mat. 4:1-11) dan iblis sombong, bangga dan berkepala batu.  Apabila mampu menerapkan Firman Allah dalam kehidupan maka maka sudah mampu mengurangi bahaya kesombongan. 
Studi Alkitab tanpa aplikasi berbahaya karena pengetahuan menuntut tindakan.  Rasul Yakobus menasehati orang percaya “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku Firman dan bukan hanya pendengar saja, sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri” (Yak. 1:22).  Studi Alkitab tanpa aplikasi bisa berbahaya, karena pengetahuan peningkatan tanggung jawab.  Kalau anda bersikap serius dalam studi Alkitab, maka anda akan dituntut lebih banyak dari yang lainnya.   Ada pendapat yang mengatakan bahwa akhir dari studi Alkitab adalah mengenal Allah dan dari pengenalan ini boleh mengasihi Allah dan menjadi seperti gambaran Allah.[26]
            Tentunya seorang penafsir perlu mengatahui bagaimana langkah-langkah menuju aplikasi yang praktis.  Rick Warren mengemukakan beberapa langkah. 
Langkah pertama berdoa untuk wawasan bagaimana menerapkan bacaan Alkitab.  Mohon Tuhan menolong anda dalam aplikasi Firman Allah yang anda pelajari dan memohon supaya Dia memperlihatkan kepada anda apa yang Allah kehendaki untuk anda lakukan.  Anda tahu bahwa Tuhan menginginkan anda melakukan dua perkara: mematuhi Firman Allah dan membagikannya kepada sesama.  Dalam doa anda katakan kepada Tuhan bahwa anda sudah siap mematuhi Tuhan dan menerapkan Firmannya dalam kehidupan anda.
Langkah kedua, Renungkan ayat-ayat yang telah anda pilih untuk dipelajari.  Merenungkan adalah kunci menemukan bagaimana aplikasi firman Allah dalam kehidupan anda.  Perenungan Alkitabiah adalah membaca sebagian Alkitab, lalu memusatkan diri pada bagian itu dengan berbagai cara.  Salah satu cara adalah memvisualisasi adegan ceritera.
Langkah ketiga, mencatat aplikasinya.  Anda perlu memperhatikan faktor-faktor dalam mencacat aplikasi yang baik yakni: aplikasi harus bersifat pribadi, praktis, dapat dilaksanakan, dan dapat dibuktikan.
Langkah keempat, hafalkan ayat kunci dari bagian Alkitab yang anda pelajari.  Agar anda dapat melanjutkan perenungan atas bagian yang anda aplikasikan dan membantu anda mengingatkan akan proyek anda, maka hafalkan ayat kunci yang akan anda pakai dalam mencatat aplikasi anda.  Ayat yang dihafalkan akan membantu anda dalam proses pertumbuhan rohani anda di dalam hati anda.[27]









Bab III: Kesimpulan

Dalam ilmu penafsiran Alkitab memang disadari bahwa banyak masalah-masalah yang perlu dihindari.  Dengan upaya mengindari permasalahan-permasalahan yang sering muncul akan menghasilkan penafsiran yang lebih akurat.
Adapun permasalahan di sekitar penafsiran adalah  ketika penafsir tidak percaya kepada Alkitab atau meragukan tentang Alkitab.  Sering juga terjadi karena penafsir melalaikan bahasa asli Alkitab.  Bukan hanya itu tetapi permasalahan bisa terjadi ketika penafsir memberi terlalu banyak pengertian/perhatian kepada suku kata.  Selain itu melalaikan konteks dari bagian yang ditafsirkan serta kurang memperhatikan latar belakang Alkitab bisa menimbulkan salah tafsir.  Permasalahan lain ialah kurang memperhatikan bentuk dari bagian yang ingin ditafsir, memakai Alkitab untuk mencapai tujuannya, fantasi/ imaginasi yang tak terkontrol serta melalaikan aplikasi.
Para penafsir yang bijaksana akan menjunjung tinggi kebenaran Alkitab dan berupaya mengadakan pendekatan yang lebih baik.  Dengan cara seperti itu maka Alkitab sebagai pedoman hidup akan lebih bermakna bagi kehidupan umat Tuhan.





Kepustakaan
Geisler,  Norman & Ron Brooks.  Ketika Alkitab Dipertanyakan.  Yogyakarta: Andi Offset, 2010.
Hayes,  John H. & Carl R. Holladay.  Pedoman Penafsiran Alkitab. Jakarta: BPK, 2005.
Lahaye, Tim. Mempelajari Alkitab Secara Praktis. Bandung: Kalam Hidup, 1999.
Sitompul, A.A.  & Ulrich Beyer.  Metode Penafsiran Alkitab.  Jakarta: BPK, 1997.
Sutanto, Hasan. Hermaneutik: Prinsip dan Metode penafsiran Alkitab.  Malang: SAAT, 2000
Thiessen, Hendry C.  Teologi Sistimatika. Malang: Gandum Mas, 1992.
Warren,  Rick.  Metode Pemahaman Alkitab yang Dinamis.  Yogyakarta: Andi Offset, 2010.






[1]Hasan Sutanto, Hermaneutik: Prinsip dan Metode penafsiran Alkitab  (Malang: SAAT, 2000), 1.
[2]Tim Lahaye, Mempelajari Alkitab Secara Praktis (Bandung: Kalam Hidup, 1999), 92.
[3]Ibid.
[4]Hasan Sutanto, Hermaneutik: Prinsip dan Metode penafsiran Alkitab  (Malang: SAAT, 2000), 112.
[5]Hendry C. Thiessen, Teologi Sistimatika (Malang: Gandum Mas, 1992), 97.
[6]Norman Geisler & Ron Brooks, Ketika Alkitab Dipertanyakan (Yogyakarta: Andi Offset, 2010), 188.
[7]Hasan Sutanto, Hermaneutik: Prinsip dan Metode penafsiran Alkitab  (Malang: SAAT, 2000), 112-113.
[8]Rick Warren, Metode Pemahaman Alkitab yang Dinamis (Yogyakarta: Andi Offset, 2010), 92-93.
[9]Hasan Sutanto, Hermaneutik: Prinsip dan Metode penafsiran Alkitab  (Malang: SAAT, 2000), 114-116.

[10]Ibid., 221-222.
[11] Ibid., 116-117.
[12]Tim Lahaye, Mempelajari Alkitab Secara Praktis (Bandung: Kalam Hidup, 1999), 93.
[13]Hasan Sutanto, Hermaneutik: Prinsip dan Metode penafsiran Alkitab  (Malang: SAAT, 2000), 209-210.

[14]Rick Warren, Metode Pemahaman Alkitab yang Dinamis (Yogyakarta: Andi Offset, 2010), 105.
[15]Hasan Sutanto, Hermaneutik: Prinsip dan Metode penafsiran Alkitab  (Malang: SAAT, 2000),  117-118.
[16]Ibid., 195-196.
[17] Ibid., 118.
[18]Ibid., 119.
[19] A.A. Sitompul & Ulrich Beyer, Metode Penafsiran Alkitab (Jakarta: BPK, 1997), 127.
[20]John H. Hayes & Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab (Jakarta: BPK, 2005), 101.
[21]Hasan Sutanto, Hermaneutik: Prinsip dan Metode penafsiran Alkitab  (Malang: SAAT, 2000),  119-120.

[22]Ibid., 6-7.
[23]Ibid., 120-121.
[24]Ibid., 121-122.
[25]Rick Warren, Metode Pemahaman Alkitab yang Dinamis (Yogyakarta: Andi Offset, 2010), 15-16.
[26] Ibid., 16-17.
[27]Ibid., 19-21. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Orang Dewasa

PENDIDIKAN ORANG DEWASA Simon Runtung BAB I PENDAHULUAN             Pendidikan Agama Kristen merupakan bagian integral dari misi Tuhan Yesus yang tumbuh yang tumbuh dan berakar dalam Firman Tuhan.  Firman Tuhan yang hidup ini perlu ditumbuhkembangkan dalam kehidupan setiap orang baik yang sudah percaya Kepada Kristus maupun yang belum percaya, mulai dari anak-anak, remaja/pemuda dan orang dewasa.             Pendidikan Kristen untuk orang dewasa ( Christian Education for Adult ) pada intinya lebih banyak ke arah pewarisan iman dan perbendaharaan Kristen lainnya, agar diterapkan dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.  Pendidikan agama kepada orang dewasa merupakan usaha yang sengaja dari Gereja di bawah pimpinan Roh Kudus untuk membuka kesempatan belajar kepada orang dewasa sehingga mereka dapat melayani Tuhan sesuai dengan bakat dan minat pribadi, k...